KECENDRUNGAN TERHADAP "budaya/kebudayaan lokal

Apakah anda pernah melihat Gambar gedung DPRD Kaltim? Menurut saya gedung tersebut sangat menarik baik dari aspek arsitektur maupun dari aspek budaya karena mencerminkan langsung budaya lokal yang ada di daerah bersangkutan yaitu Budaya Dayak. Pertanyaan saya bagaimana dengan Kalbar, Kalteng dan Kalsel? Karena jika saya melihat/memperhatikan seolah budaya lokal di tiga daerah tersebut tidak pernah “diperhatikan”? Dan kalau benar demikian, mengapa? Apakah karena kita sendiri yang tidak pernah peduli dengan kebudayaan kita (Dayak), atau karena kita tidak “berdaya”? Lalu mengapa kita tidak berusaha membangun dan memperkenalkan budaya kita? Apakah karena takut dibilang “primitive” atau karena sebab lain? Saya rasa sudah saatnya kita semua bertanya pada diri kita dan melihat fakta yang ada, karena jika tidak maka bukan tidak mungkin budaya lokal tidak akan pernah diperhatikan, karena kenyataan ada didepan mata kita bahwa kita (orang Dayak) memang “tidak diperhatikan”, baik dari aspek pendidikan, sosbud, politik, ekonomi dan kesejahtraan maupun dari berbagai aspek kehidupan lainnya. Lingkungan disekitar kita diobrak-abrik dan dihancurkan begitu saja, tanpa pernah mereka sadari bahwa disitu ada kita (orang Dayak), tanpa pernah mereka berpikir kalau kita juga manusia yang harus diperhatikan sama seperti yang lainnya, namun sudahkah kita “diperhatikan”? Saya katakan sesunguhnya kita “tidak pernah diperhatikan” karena ada begitu banyak anak-anak Dayak yang tidak dapat melanjutkan sekolah bahkan menginjak dan merasakan pendidikan di sekolah dasar apalagi untuk mengenyam pendidikan di bangku sekolah menengah atau mungkin perguruan tinggi dan begitu banyak Mahasiswa/i Dayak yang ingin melajutkan pendidikan, tetapi harus gagal ditengah jalan karena keterbatasan biaya disamping faktor lainnya. Mungkin kita harus melihat dan menghitung kembali seberapa banyak sekolah (SD, SLTP, SMA) yang berdiri tegak di Kampung kita, kita perlu menghitung dan melihat kembali bagaimana kita harus berjuang untuk sekolah, dan berjuang merasakan bangku sekolah, kita harus melihat kembali berapa banyak tenaga pengajar/pendidik orang kita dan kita juga perlu melihat kembali bagaimana kita diperlakukan ditanah kelahiran kita sendiri. Sudahkah kita diberi kesempatan yang sama atau mungkin sudahkah kita dapat merasakan bangku sekolah dengan nyaman dan berkualitas, tidak melewati jalanan yang berlumpur dan berlobang, tidak melewati jalanan yang tidak beraspal dan berdebu? Jawabnya adalah Tidak, Masih banyak “penderitaan” yang kita rasakan yang seharusnya tidak lagi kita rasakan diera serba modern ini, tetapi apa, kenyataannya kita tidak pernah diberikan kesempatan untuk itu, karena kita sengaja dibiarkan merasakan semua penderitaan itu. Bagi para pembaca atau yang kebetulan membaca tulisan ini, anda boleh melihat sendiri faktanya, berjalanlah ke perkampungan dan desa-desa atau kecamatan di kampung-kampung orang Dayak, lihatlah dan saksikanlah maka anda akan dapat melihat di sana tidak ada Sekolah Dasar, Puskesmas, Sarana-Prasarana Transportasi yang memadai, Jalanan beraspal, Pelayanan Publik, Penerangan dan banyak lagi lainnya. Lihatlah karena dengan demikian anda akan tahu betapa tidak ada “perhatian” buat orang Dayak.

Tidak ada komentar: